Rasa yang Tak Pernah Sampai

Sore itu kota yang selalu terik seakan matahari terlalu sayang sehingga tak mau beranjak dari tempatnya tiba-tiba diselimuti mendung. "Tumben..." Gumam ku dalam mulut, apa mungkin ada bidadari kecil yang sedang murung akibat dimarahi oleh ibu peri, ahh pemikiran gila. Sambil berjalan aku melihat ada seorang wanita sedang duduk menyendiri juga termenung di bawah pohon rindang. Ku coba pergi ke arahnya, "hey" dia masih saja tak menanggapi seakan ia terlalu asyik pada lamunannya yang terlihat sedu itu, utnuk kedua kalinya ku coba menyapa sambil memetikan jari di hadapan matanya, ia pun terkaget dan dengan respon cepat berkata.
"Hey, daritadi kau di situ ?"
"Jangan terlalu serius pada lamunan, nanti kau dimakan setan"
Seketika terlihat senyum kecil di wajah mungilnya, namun tak lama bibirnya kembali datar seakan ikut tertarik oleh gaya grafitasi. Aku tanpa meminta izin langsung ikut duduk disebelahnya, mungkin tidak sopan tapi aku tahu dia pasti lebih memilih lamunannya dibanding harus menjawab izin ku. Memang angin sore itu sedang tenang dan sejuk rasanya jarang metropolitan memiliki angin dan suasana sedamai itu. Ku lihat dia terus menikmati lamunan dan suasana mendung yang mungkin memang sedang pas untuk suasana hatinya. Aku sendiri pun memilih diam dan ikut menikmati suasana sore itu tanpa tahu apa yang sedang dipikirkan wanita di sebelah ku ini. Sekitar lima menit kami hanya berdiam, ia yang sibuk akan lamunan dan aku yang sibuk akan rasa penasaran. Rasanya lancang bila aku langsung menanyakan apa yang sedari tadi membuatnya terdiam. Setelah ku pikir ia sudah mulai membaik aku mulai keluarkan suara.
"Jakarta sedang bersahabat ya"
"Ia, tak ku sangka Jakarta mengerti penduduknya"
 "Andai saja tiap sore seperti ini, pusing akibat hitung menghitung uang orang pasti cepat hilang"
 "Tidak, jangan setiap hari. Cukup hari ini saja"
Aku pun terdiam mendengar jawaban itu, bukan karena malas membalas tetapi menghargai kesedihannya. Ku pikir rasanya sudah pas bila aku mulai menanyakan keadaanya, dan ketika aku baru muali membuka mulut dan melontarkan "hey, kau.." wanita itu langsung memotong dan berkata 
"Kenapa lelaki selalu mudah melupakan sesuatu seakan ia tak pernah peduli dengan apa yang sudah terjadi, apa ia tak pernah memikirkan perasaan orang lain ? Apa yang ada di otaknya hanya kesenangan dan perasaan dirinya sendiri ?  Pergi begitu saja tanpa ada penjelasan apa-apa, meninggalkan perlakuan-perlakuan manisnya pada ku, membuat ku senang lalu menghilang. Apa begitu yang diinginkan lelaki ? Dengan mudah melemparkan perlakuan manis tapi tak pernah peduli tentang sebab perlakuan manisnya"
"Tapi kan bukannya memang seharusnya begitu, kita perlu baik ke semua"
 "Tapi tidak dengannya, dia melakukan ini terlalu sering juga tidak pada yang lain hanya pada ku seorang. Dia juga sering menemani ku, pernah beberapa kali berkunjung ke rumah, mengantar aku pulang. Aku tak pernah menuntut sebuah status atau juga penjelasan. Tapi apa ? Ia pergi, benar-benar pergi tanpa memberi suatu penjelasan bahkan ucapan. Apa salah jatuh cinta dikarenakan suatu hubungan yang dibuat nyaman ? Aku tak apa jika dia tak juga mencintai ku, tapi jika begini pergi saja tanpa adanya suatu alasan sungguh tidak menyenangkan"
Seketika ucapannya yang penuh amarah berhenti, tiba-tiba ia menangis. Pipinya terus dibasahi air mata yang sedari tadi mungkin tertahan akibat luapan emosinya yang tak bisa ia keluarkan. Aku hanya terdiam, tak tahu bagaimana aku harus menenangkan. Sampai akhirnya aku hanya menepuk pundaknya.
"Sudah tak apa, menangislah selagi kau bisa tapi cukup kali ini saja jangan kau tangisi dia lagi"
"Aku sudah terlanjur menyukainya, aku tak bisa melupakannya"
Seketika aku pun terdiam, terdiam mendengar pernyataannya. Ya aku sudah menaruh hati pada wanita itu, tapi tak pernah berani berusaha lebih karena suatu hal. Suatu hal yang belum pasti kebenarannya, aku menyerah lebih awal sebab pernah melihat wanita itu akrab berduaan bersama lelaki lain dan yang ternyata itu hanya sahabatnya. Sekarang aku juga harus benar-benar menyerah sepenuhnya sebab wanita itu sudah terlalu mencintai seseorang, seseorang yang lebih baik kelakuannya ketimbang diri ku.

Tapi aku tak peduli terhadap perasaan ku saat ini, yang terpenting adalah dia, wanita itu sedang menangis saat ini. Ku beranikan mengusap air matanya
"Sudah... Kau tak perlu habiskan air mata mu. Mungkin belum saatnya dia mengatakannya pada mu, aku yakin tak mungkin iya main-main dengan mu. Mungkin sedang ada urusan yang begitu penting sehingga ia tak ingin menghubungi mu untuk waktu yang sebentar. Aku percaya kau sudah dewasa, berpikir positif tak apa kan ? Sudah jangan menangis, nanti langit ikut menangis"
"Terima kasih, kau memang teman yang baik"
"Nah berhubung hari sudah sore bagaimana kalau kita makan, pasti kau lelah menangis. Ada tukang ketoprak baru di depan sana, bagaimana mau ikut ?"
"Baik lah, ayo" 
Percakapan sore itu sungguh membuat diri ini termenung sepanjang jalan pulang. Aku memang pernah tertarik tapi kenapa mendengar kabar seperti itu hati ini masih saja menimbulkan perasaan yang aneh. Seperti tak terima dengan pernyataannya namun ada perasaan tahu diri bahwa bukan orang seperti ku lah yang diinginkannya.

Empat hari kemudian aku bertemu lagi dengannya, wajahnya tidak terlihat sedih juga tidak gembira. Dia bercerita bahwa pria yang disukainya benar-benar tidak lagi menghubunginya dan ia pun bisa terima itu tapi tetap perasaanya masih sama. Hari-hari berikutnya kami berdua jadi sering bertemu, entah semesta mungkin mengerti apa mau hati ini. Aku selalu senang berbincang dengannya, entahlah padahal aku sendiri sedang berusaha mendekati wanita lain. Kami berdua sering berbincang, membicarakan tentang apapun, tentang dirinya juga tentang diri ku dan yang aku harapkan semoga rasa yang dulu sudah berhasil ku kubur tidak bangkit kembali.

Namun memang sulit rasanya mengendalikan hati. Logika sering kali dikalahkan oleh perasaan, tapi aku tak pernah berani menunjukan apalagi mengungkapkan. Apalagi beberapa kali ia masih sering menyatakan bahwa ia masih mencintai lelaki tersebut. Mungkin tak ada ruang untuk ku di hatinya. Hari demi hari ku lihat wajah gembira pada wanita itu, aku senang melihatnya. Saat itu aku langsung berdoa dalam hati "Ya Tuhan tak apa langit sering mendung di kota ini, tapi jangan lagi dengannya".

Suatu hari aku pernah mendengar dari teman dekatnya bahwa saat ini ia sudah berhasil melupakan lelaki itu dan ia sedang merasa bahagia dikarenakan seseorang. Aku pun tak ingin menanyakannya lebih dalam, tak ingin ku merasakan perasaan aneh untuk kedua kalinya. Aku pun sudah sedikit merasa bahagia sebab wanita yang sedang ku dekati saat ini merespon dengan baik. Tapi tetap entah kenapa aku selalu masih saja senang apabila berduaan dengannya, seakan ialah wanita yang sedang ku dekati.

Aku tak bisa terus menerus menyangkal perasaan bahagia ini, sepertinya memang benar ketertarikan ku mulai timbul kembali, aku semakin senang bila terus bertemu dan berbicara dengannya. Tapi aku tak akan pernah mengambil resiko untuk mengungkapkan ini, biarlah ini menjadi perasaan yang ku simpan sendiri sebab aku tahu bukan aku lah tipe lelaki yang diinginkannya. Biarlah hubungan seperti ini berjalan, toh aku juga bahagia. Dia juga terlihat bahagia. Pernah sesekali berpikir apa orang yang bisa membuatnya sebahagia sekarang ini adalah aku, tapi itu hanya ku anggap khayalan gila, mimpi yang hanya dibuat untuk menyenangkan diri sendiri.

Sampai pada akhirnya mulai muncul tanda-tanda bahwa benar orang tersebut adalah aku. Walaupun tak pernah ku dengar dari mulutnya langsung, tapi dari omongan teman-temannya lah. Tapi kami tak pernah terganggu akan hal itu, kami berdua masih sering bertemu dan berbincang tentang banyak hal. Seandainya memang benar begitu adanya, merugilah diri ini mungkin juga dirinya. Rasa yang mungkin bisa saja bertemu dan menciptakan kebahagiaan yang lebih dari ini bisa sirna akibat perasaan takut yang diciptakan oleh diri sendiri. Rasa yang tak pernah tersampaikan hanya akan melahirkan harapan yang bisa saja diwujudkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inhale - Exhale

Kebebasan yang Bukan Anarki